Sering dijumpai dikalangan para cedik-cendikia
khususnya di pesantren dalam mengkaji sebuah kitab islam, Seorang pengajar/Ustad tampa menjelaskan
Mabadi’ asyrah, padahal hal ini harus diketahui oleh pelajar/santri sebelum
menggali ilmu yang terdapat didalamnya. Sedikit pengalaman saya waktu pertama
mengikuti pelajaran Nahwu di pesantren seorang pengajar/Ustad waktu pertama
kali langsung menyuruh menghafalin definisi kalam, kalim, dan kalimat. Bahkan
saya belum mengetahui apa ilmu Nahwu, apa yang terkandung didalamnya,dan apa
kegunaanya. Seharusnya Ustad menjelaskan Mabadi’ asyrah terlebih dahulu agar
seorang pelajar/santri mengenali kitab yang dikaji/dipelajari, karena hal itu
saya bergegas untuk menjelaskan sedikit pelajaran mengenai mabadi’ asyrah ilmu nahwu, sebagai berikut:
1.Definisi ilmu nahwu (hadduhu)
Nahwu adalah ilmu yang membahas tingkah akhir suatu
kalimat mengenai (I’rob dan bina’nya), dengan I’rob maka akan mengetahui hukum
suatu kalimat, apakah rofa’, nasob,jer dan jazm.
2. Pokok Pembahasan (maudu’uhu)
Membahas macam-macam kalimat dan membahas tingkah
kalimat tersebut.
3.Faidah mempelajari nahwu (faidatuhu)
Ilmu nahwu sebagai alat untuk mengetahui ucapan arab ,
menjaga kesalahan lisan dalam pengucapan kalam Alloh Swt dan membantu untuk
pemahaman al-quran dan hadits dengan benar.
4.keunggulan ilmu nahwu (fadhluhu)
Ilmu nahwu diatas macam-macam ilmu, karena dengan ilmu nahwu kita dapat
mempelajari ilmu lainya .
5.Hubungannya dengan ilmu yang lain (nisbatuhu).
Bagaimana hubungan antara ilmu Nahwu dengan ilmu yang
lain? Hubungan ilmu Nahwu dengan ilmu yang lain adalah (tabayun kuliyun) aitu
dalam artian ilmu Nahwu bukanlah ilmu yang lain (selain nahwu), dan begitu juga
sebaliknya, ilmu yang lain juga bukan merupakan ilmu Nahwu. Namun antara ilmu
Nahwu dan ilmu yang lain itu semuanya saling membutuhkan. Contoh ilmu Sharaf,
ilmu Sharaf ini bukanlah ilmu Nahwu, dan sebaliknya ilmu Nahwu juga bukan
merupakan ilmu Sharaf, tapi untuk memahami ilmu Sharaf tersebut kita harus
melibatkan ilmu Nahwu, sebab kita tidak mungkin faham terhadap kalimah yang
menjelaskan sharaf jika tidak menggunakan ilmu Nahwu. Begitu juga sebaliknya,
untuk memahami ilmu Nahwu harus melibatkan ilmu Sharaf, sebab kita juga tidak
mungkin serta merta memahami ilmu Nahwu jika cara memahami kalimat yang
menerangkan ilmu nahwu tersebut tidak menggunakan ilmu sharaf.
6. Pengambilan
ilmu nahwu (istimdaduhu)
Diambil dari ilmu bahasa arab yang fasih
7. Hukum Mempelajari nahwu (hukmuhu)
Fardhu kifayah bagi tiap ahli dikampung, dan fardu
A’in bagi orang yang membaca/mengartikan al-quran dan hadits.
8.pembahasan masalah ilmu nahwu (masailuhu).
Membahas macam-macam qaidah/ta'rif 'ilmu nahwu,
seperti Fa'il itu isim yang di rofa'kan
yang di tempatkan setelah Fi'il , atau Mubtada adalah isim yang di rofa'akan
yang di sepi dari 'amil lafadz.
9. Namanya
(ismuhu)
Apa namanya ilmu Ini?
Namanya adalah ilmu Nahwu. Adapun arti dari nahwu ini
sangat beragam sekali, menurut para ulama arti dari kata nahwu bisa mencakup
tujuh arti.
10. Perintis pertama ilmu ini
Siapakah (Wadi’) peletak pertama ilmu Nahwu?
Orang pertama yang menciptakan dan mengajarkan ilmu
Nahwu adalah Abu Al-aswad yang dibawahi oleh perintah Amiril mu’minin Sayidina
‘Ali bin Abi thalib karamallahu wajhah. Pada waktu itu Ada sedikit kisah
tentang sebab diperintahnya Abu al-aswad untuk menyusun ilmu tersebut adalah
karena pada suatu malam ia sempat bersama seorang putrinya berada di sebuah
loteng rumahnya, cuaca malam saat itu begitu cerah, dan keadaan langitpun
begitu indah. mereka berdua menyaksikan keindahan suasana langit pada malam
itu, sehingga kemudian sang putri bermaksud ingin mengungkapan ta’ajub
(perasaan kagumnya) terhadap keindahan langit malam yang menawan itu. Dia
mengungkapkan perasaan ta’ajub (kagum) dengan redaksi يا أبت ما أحسنُ السماءِ “Wahai
ayahanda, indahnya langit itu dari segi apanya?” (dengan keadaan nun domah dan
hamzah dalam keadaan katsrah) redaksi tersebut adalah redaksi pertanyaan
padahal yang dimaksud putri itu adalah ungkapan kekaguman, bukan pertanyaan.
Untuk mengungkapkan kekagumannya seharusnya dia mengungkapkannya dengan kalimat
يا أبت ما أحسنَ السماءَ “Wahai ayahanda, betapa indahnya langit ini” (Dengan nun dan
hamzah keduanya dalam keadaan Fathah) tapi karena salah cara melafalkan
bahasanya, maka salah pula maknanya.
Cukup sekian
penjelasan dari saya
apabila ada kesalahan dalam penulisan,
saya atasnama penulis mohon maaf.
cairo,12 maret 2018
