Ungkapan "رمضان شهر الله" (Ramadhan adalah Bulan Allah) adalah frasa yang cukup dikenal dan kadang dikaitkan dengan keutamaan bulan Ramadhan. Namun, para ulama hadis memiliki pandangan khusus terkait penisbatan Ramadhan sebagai "Bulan Allah". Demikian pula, pernyataan bahwa "Allah melipatgandakan kebaikan di dalamnya" perlu ditinjau apakah ia berasal dari hadis sahih atau tidak.
A. Teks Hadis Lengkap
Secara spesifik, tidak ada hadis sahih yang secara eksplisit menyatakan "رمضان شهر الله" sebagai sabda Nabi ﷺ. Namun, ada riwayat yang menyebutkan:
"عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَقُولُوا رَمَضَانَ فَإِنَّ رَمَضَانَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ، وَلَكِنْ قُولُوا شَهْرُ رَمَضَانَ"."
(Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: "Janganlah kalian mengatakan 'Ramadhan', karena Ramadhan adalah salah satu nama Allah. Tetapi katakanlah 'Bulan Ramadhan'.")
Catatan: Meskipun hadis ini melarang penyebutan "Ramadhan" tanpa "Bulan", larangan ini sendiri dhaif dan tidak disepakati oleh ulama hadis. Mayoritas ulama membolehkan penyebutan "Ramadhan" saja, karena terdapat banyak hadis sahih lain yang menyebut "Ramadhan" tanpa menambahkan kata "Bulan".
Adapun bagian kedua dari pernyataan Anda, yaitu "Allah melipatgandakan kebaikan di dalamnya," ini adalah makna umum yang banyak dikuatkan oleh hadis-hadis sahih tentang keutamaan Ramadhan, namun bukan merupakan hadis yang terpisah dengan lafaz tersebut.
B. Takhrij Global (Ijmali) untuk Riwayat "Ramadhan Ismun min Asmaillah"
Hadis yang melarang penyebutan "Ramadhan" karena dianggap nama Allah diriwayatkan oleh beberapa ulama, di antaranya:
* Ibnu Adiyy dalam Al-Kamil fi Dhua'afa' ar-Rijal.
* Al-Baihaqi dalam Syu'ab Al-Iman.
* Ath-Thabrani dalam Ad-Du'a.
* Abu Nu'aim Al-Isbahani dalam Hilyat Al-Auliya'.
C. Takhrij Terperinci (Tafsili)
Berikut adalah rincian takhrij hadis yang melarang penyebutan "Ramadhan" karena dianggap nama Allah:
* Diriwayatkan oleh Ibnu Adiyy dalam Al-Kamil fi Dhua'afa' ar-Rijal, (8/235), dari jalur Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dengan lafaz tersebut.
* Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'ab Al-Iman, Kitab Puasa; (3/305) (hadis nomor 3356), dari jalur yang serupa.
* Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Ad-Du'a, (hadis nomor 1583), dari jalur yang serupa.
* Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim Al-Isbahani dalam Hilyat Al-Auliya' wa Thabaqat Al-Ashfiya', (6/280), dari jalur yang serupa.
Dirasah Sanad (Studi Sanad) untuk Riwayat "Ramadhan Ismun min Asmaillah"
Studi sanad ini akan fokus pada jalur riwayat yang umumnya disebutkan, yaitu Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya (Abu Shalih As-Samman) dari Abu Hurairah.
A. Biografi dan Kedudukan Perawi
* MUHAMMAD BIN SULAIMAN BIN ABI DAWUD AL-HARRANI (Wafat sekitar abad ke-3 H)
Ia adalah Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud Al-Harrani. Ia meriwayatkan dari Zuhair bin Muhammad, Abd Al-Aziz bin Abi Rawwad, dan lainnya. Yang meriwayatkan darinya adalah Abu Zur'ah Ad-Dimasyqi, Muhammad bin Yusuf Al-Faryabi, dan lainnya. Para ulama hadis menilai ia sebagai perawi yang dhaif jiddan (sangat lemah) atau matruk (ditinggalkan hadisnya).
* Yahya bin Ma'in berkata: "لا يكتب حديثه" (Hadisnya tidak dicatat).
* Abu Hatim Ar-Razi berkata: "منكر الحديث" (Munkar hadisnya) dan "ضعيف جدا" (Sangat lemah).
* An-Nasa'i berkata: "متروك الحديث" (Hadisnya ditinggalkan).
* Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Taqrib At-Tahdzib menyimpulkan: "متروك الحديث" (Hadisnya ditinggalkan).
* Kesimpulan keadaannya: Matruk Al-Hadis (Hadisnya ditinggalkan).
* Sumber Rujukan Biografi:
* Ibnu Abi Hatim Ar-Razi, Al-Jarh wa At-Ta'dil, jilid 7, hlm. 288.
* Adz-Dzahabi, Mizan Al-I'tidal fi Naqd Ar-Rijal, jilid 3, hlm. 660.
* Ibnu Hajar Al-Asqalani, Taqrib At-Tahdzib, hlm. 488.
* ZUHAIR BIN MUHAMMAD AL-KHURASANI (Wafat 162 H/779 M)
Ia adalah Zuhair bin Muhammad At-Tamimi Al-Khurazani. Kedudukannya termasuk dalam kategori perawi yang mukhtalith (bercampur hafalannya). Riwayatnya dari Suhail bin Abi Shalih ini seringkali dipermasalahkan oleh para ulama.
* Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Taqrib At-Tahdzib menyimpulkan: "صدوق، له أوهام، وهو الذي يروي عنه أهل الشام فهو أصح حديثا من رواية أهل العراق عنه" (Jujur, ia memiliki banyak kekeliruan, dan yang meriwayatkan darinya adalah penduduk Syam, maka hadisnya lebih sahih daripada riwayat penduduk Irak darinya). Namun, riwayat ini berasal dari jalur Suhail, yang riwayat Zuhair darinya dianggap kurang kuat.
* Kesimpulan keadaannya: Saduq, Lahu Awham (Jujur, memiliki banyak kekeliruan), terutama pada riwayatnya dari Suhail bin Abi Shalih.
* Sumber Rujukan Biografi:
* Ibnu Abi Hatim Ar-Razi, Al-Jarh wa At-Ta'dil, jilid 3, hlm. 602.
* Ibnu Hajar Al-Asqalani, Taqrib At-Tahdzib, hlm. 220.
* SUHAIL BIN ABI SHALIH AZ-ZAYYAT (Wafat 138 H/755 M)
Ia adalah Suhail bin Abi Shalih Dzakaun As-Samman Al-Madani. Ia adalah perawi yang shaduq (jujur) namun memiliki masalah ikhtilath di akhir umurnya dan riwayatnya dari ayahnya terkadang dicurigai adanya irsal atau tadlis.
* Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Taqrib At-Tahdzib menyimpulkan: "صدوق، ثبت، إلا أنه تغير في آخر عمره" (Jujur, kokoh, hanya saja berubah di akhir umurnya).
* Kesimpulan keadaannya: Saduq, tsabit, ikhtalath fi akhir umrihi (Jujur, kokoh, namun hafalannya bercampur di akhir umurnya).
* Sumber Rujukan Biografi:
* Ibnu Abi Hatim Ar-Razi, Al-Jarh wa At-Ta'dil, jilid 4, hlm. 240.
* Ibnu Hajar Al-Asqalani, Taqrib At-Tahdzib, hlm. 260.
* ABU SHALIH DZAKAWAN AS-SAMMAN (Wafat 101 H/719 M)
Ia adalah Dzakaun, dikenal dengan kunyah Abu Shalih As-Samman. Beliau adalah seorang tabi'in besar yang tsiqah (terpercaya) dan kokoh hafalannya.
* Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Taqrib At-Tahdzib menyimpulkan: "ثقة ثبت" (Terpercaya dan kokoh).
* Kesimpulan keadaannya: Tsiqah Tsabit (Terpercaya dan Kokoh).
* Sumber Rujukan Biografi:
* Ibnu Abi Hatim Ar-Razi, Al-Jarh wa At-Ta'dil, jilid 3, hlm. 556.
* Ibnu Hajar Al-Asqalani, Taqrib At-Tahdzib, hlm. 216.
* ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU (Wafat 59 H/679 M)
Beliau adalah Abd Ar-Rahman bin Shakhr Ad-Dausi, salah satu sahabat Nabi ﷺ yang paling banyak meriwayatkan hadis.
* Sumber Rujukan Biografi:
* Ibnu Abd Al-Barr, Al-Isti'ab fi Ma'rifah Al-Ashab, jilid 4, hlm. 1763.
* Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, jilid 7, hlm. 343.
Hukum Hadis
A. Penilaian terhadap Sanad untuk "Ramadhan Ismun min Asmaillah"
Berdasarkan analisis di atas, sanad hadis yang melarang penyebutan "Ramadhan" karena dianggap nama Allah adalah dhaif jiddan (sangat lemah) atau maudhu' (palsu). Kelemahan fatal ini berasal dari perawi Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, yang berstatus "matruk al-hadits". Kehadiran perawi matruk dalam sanad secara otomatis menjadikan hadis tersebut tidak dapat diterima.
Meskipun Zuhair bin Muhammad dan Suhail bin Abi Shalih adalah perawi shaduq atau tsiqah (namun dengan masalah ikhtilath), kelemahan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud tidak dapat ditutupi.
B. Muta'aba'at dan Syawahid
Tidak ditemukan muta'aba'at atau syawahid yang kuat untuk menguatkan hadis ini. Bahkan, banyak hadis sahih dari Nabi ﷺ dan para sahabat yang secara langsung menyebut "Ramadhan" tanpa tambahan "bulan", seperti "صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته" (Berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya), yang menunjukkan kebolehan menyebut Ramadhan tanpa tambahan kata "bulan". Ini semakin menguatkan bahwa hadis larangan tersebut tidak sahih.
C. Kesimpulan Hukum Hadis untuk "Ramadhan Ismun min Asmaillah"
Berdasarkan studi sanad dan pertimbangan dalil-dalil lain yang sahih, hukum hadis "لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله" adalah Dhaif Jiddan (sangat lemah) atau Maudhu' (palsu). Oleh karena itu, boleh saja menyebut "Ramadhan" tanpa menambahkan kata "bulan".
التعليق على Hadis dan Ungkapan "Ramadhan Syahrullah"
A. Penjelasan Ungkapan "Ramadhan Syahrullah"
Ungkapan "Ramadhan Syahrullah" (Ramadhan adalah Bulan Allah) bukanlah hadis Nabi ﷺ yang sahih. Sebagian ulama memakruhkan ungkapan ini karena khawatir menyamakannya dengan penisbatan Allah kepada bulan-bulan lain yang bersifat umum. Namun, jika dimaksudkan sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap bulan tersebut karena keutamaan dan keberkahannya yang datang dari Allah, maka secara makna tidak ada masalah. Ini seperti ungkapan "Baitullah" (Rumah Allah) untuk Ka'bah, yang menunjukkan kemuliaan dan kepemilikannya oleh Allah, bukan berarti Allah bertempat di sana.
B. "Allah Melipatgandakan Kebaikan di Dalamnya"
Pernyataan bahwa "Allah melipatgandakan kebaikan di dalamnya" (yaitu di bulan Ramadhan) adalah makna yang sahih dan dikuatkan oleh banyak dalil Al-Qur'an dan Sunah. Ini bukan hadis dengan lafaz tunggal yang spesifik, melainkan sebuah prinsip yang konsisten dengan ajaran Islam tentang keutamaan Ramadhan.
Dalil-dalil yang Menguatkan:
* Surah Al-Baqarah ayat 183: "يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ" (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa). Ayat ini menunjukkan tujuan agung puasa.
* Hadis Qudsi tentang Puasa: Rasulullah ﷺ bersabda: "قال الله عز وجل: «كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ»" (Allah Azza wa Jalla berfirman: "Setiap amal anak Adam adalah baginya, kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu adalah milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya") [HR. Bukhari dan Muslim]. Ini menunjukkan pahala puasa yang luar biasa dan dilipatgandakan tanpa batas tertentu.
* Hadis tentang Pembukaan Pintu Surga: Rasulullah ﷺ bersabda: "إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ" (Apabila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu) [HR. Bukhari dan Muslim]. Ini mengindikasikan kemudahan beramal dan dilipatgandakannya pahala.
* Lailatul Qadar: Malam Lailatul Qadar yang berada di bulan Ramadhan lebih baik dari seribu bulan, menunjukkan berlipatnya pahala amal di dalamnya.
C. Kesimpulan Umum
Meskipun hadis yang secara spesifik melarang penyebutan "Ramadhan" karena dianggap nama Allah adalah lemah, dan ungkapan "Ramadhan Syahrullah" bukanlah hadis sahih, keutamaan bulan Ramadhan dan pelipatgandaan pahala di dalamnya adalah ajaran yang sahih dan mutawatir dalam Islam.
Umat Islam hendaknya fokus pada ibadah-ibadah yang disyariatkan dan keutamaan-keutamaan yang sahih di bulan Ramadhan, seperti puasa, shalat tarawih, membaca Al-Qur'an, bersedekah, dan mencari Lailatul Qadar, daripada berpegang pada riwayat-riwayat yang lemah.
0 Comments